SMP Negeri 1 Nanggulan

Jatingarang Lor, Jatisarono, Nanggulan, Kulon Progo, Yogyakarta

Where Tomorrow's Leaders Come Together

Low Self-esteem

Sabtu, 25 Mei 2024 ~ Oleh Administrator ~ Dilihat 292 Kali

Sebuah Cerpen Karya: Ari Wahyuningsih/9E

Klise. Seperti cerita kebanyakan orang, aku juga menyukai kegiatan membaca berawal dari sebuah buku di perpustakaan sekolah dasar. Dulu, ketika kelas tiga, siswa mulai dikenalkan dengan buku-buku di rak perpustakaan sekolah. Aku tidak ingat judul buku yang kubaca saat itu, tapi samar-samar aku ingat bahwa buku itu memuat tentang cerita horor. Yang kusimpan baik-baik di tempat yang tidak mudah dijangkau murid-murid lain. Di kelas empat, aku menghabiskan satu judul buku. Bahkan kubaca berulang kali, hingga aku ingat benar dengan jalan cerita bukunya.

Aku tidak membaca buku sama sekali ketika kelas lima. Baru mulai membaca kembali kelas enam semester genap, karena saat itu platform Wattpad sedang booming-booming-nya. Di sana, pilihan cerita sangat bervariasi dan berjumlah banyak. Sayangnya, dibutuhkan waktu pencarian cukup lama jika ingin mendapatkan cerita apik nan artistik. Di Wattpad aku menemukan tujuan hidup. Author-author favoritku di sana menyihirku untuk mencintai dunia sastra lewat eloknya paduan kata yang mereka susun dan cerita-cerita yang mereka sajikan.

Mulanya suka pujaku pada dunia sastra hanya berupa kegiatan membaca, tapi perlahan-lahan aku mulai tergiur untuk mengarang cerita. Beberapa cerita kupublikasikan di platform tersebut. Tapi kemudian aku kembali menyimpannya untuk diri sendiri. Mempublikasikan cerita membuat tidurku tidak tenang. Aku pernah membuat cerpen untuk tugas bahasa Indonesia, tapi yang tercipta malah serupa satu bab novel. Maka, aku mencari banyak informasi dan referensi. Kemudian tercipta sebuah cerpen yang cukup membuatku sedikit percaya diri. Kukirimkan pada sebuah link Google Drive, karena memang itu tujuanku membuatnya. Untuk event sekolahan. Bolehkan kubanggakan sedikit? Aku mendapat pujian dari guru bahasa Indonesiaku. Pujian itu mantra untuk membuatku berkarya lagi. Pada mata pelajaran IPS materi ekonomi kreatif, tepatnya sub-sektor penerbitan dan percetakan aku membuat cerpen lagi. Hasilnya membuatku terpuruk seketika karena aku mengerjakannya mepet deadline, saat itu memang tugas
mengalir deras, hingga aku merasa menyaingi produser sinetron kejar tayang.

Dari kegagalan-kegagalan itu aku sadar, cerita pendek dan novel memang cukup serupa, tapi memiliki kesulitan masing-masing. Walau sama-sama prosa, cerita pendek mempunyai satu permasalahan untuk diselesaikan, sedangkan novel mempunyai beberapa dengan satu inti yang selesai paling akhir dan menjadi penutup.

Aku terkesiap begitu mendengar notifikasi bahwa ada pesan masuk. Notifikasi tersebut menghancurkan lamunanku. Segera kuraih ponsel di bawah bantal, entah bagaimana benda itu terselip. Pesan dari sahabatku yang sama-sama menggeluti dunia permainan kata. Gayatri Widiyaningtias. Seperti yang sudah-sudah, dia akan selalu mengirimkan cerita karangannya padaku. Kemudian aku akan bertindak seperti editor proof-reading tanpa bayaran. Bertugas semampuku untuk mencari letak kesalahan penulisan. Aku sudah dianggapnya sebagai Ghea Padmarini si pengkritik ulung. Tentunya, julukan tersebut tersemat karena sebuah alasan. Dia selalu semangat untuk menciptakan sebuah karya. Sedangkan aku selalu ragu-ragu. Selalu merasa tidak pantas untuk mempublikasikan hasil karangan. Sehingga tidak banyak karangan yang berhasil kuselesaikan. Kepercayaan diriku seperti tercerabut sedikit demi sedikit. Kerap mengkritisi tulisan sendiri, membandingkannya dengan mereka yang telah berhasil menciptakan karya yang akan terkenang dalam benak pembacanya. Sering kali aku hanya memandang ke layar ponsel yang menampilkan berkas dokumen kosong yang benar-benar kosong. Tak ada satu kata yang berhasil kuketik di sana. Padahal ide sudah tergambar di dalam kepala. Terlalu bingung untuk menyusun kata-kata.

Gayatri membombardirku agar segera memeriksa cerita buatannya. Setelah punggungku bersandar nyaman pada tembok samping kasur, jariku bergerak menekan berkas PDF yang dikirimkan. Lalu membacanya sekilas. Sebuah kebiasaan yang membuat Gayatri uring-uringan. Susah payah dibuat, dibaca saja tidak, barang kali begitu pikirnya. Aku melemaskan otot-otot jari sebelum mengetikkan balasan pada Gayatri. Menghadapi dia sama dengan menghadapi balita. Membuat sakit kepala tapi aku tetap menurutinya. Aku paham betul, jika membahas seputar tulisan, percakapan virtual kami selalu panjang dan lama. Kali ini aku membaca cerita pendek yang akan dia ikutkan lomba. Aku menghela napas, kenapa dia ini produktif sekali? Lain halnya denganku yang mempunyai banyak draft yang tidak–belum–selesai. Sebab sudah tidak merasakan ‘nyawa’ cerita dan bingung karena alur yang acak, akibatnya tak tahu harus melanjutkan bagaimana.


“Akar permasalahannya apa? Dijelaskan lebih detail dong! Supaya pas mau mengakhiri cerita nggak bingung mau digimanain,” ucapku sambil menekan ikon pesan suara.


“Udah aku bilang berkali-kali, ya. Nggak usah VN!” Dia memekik lewat pesan suara yang
dikirimkannya.


Bukan apa-apa, aku hanya merasa akan lebih puas jika menyuarakan pendapat menggunakan suara. Sayangnya, dia tidak suka mendengarkan pesan suara. Takut dikira gila oleh orang di sekitarnya. Padahal kejadian seperti ini lumrah terjadi di zaman kemajuan teknologi.


“Katanya mau dikritik? Terserah akulah mau mengkritik bagaimana,” finalku.

 

Selanjutnya, percakapan kami diisi oleh argumenku yang menjelaskan letak kesalahannya
sekaligus cara memperbaikinya dan argumennya yang menyangkal argumenku karena dia merasa argumenku tidak benar. Jika aku berhasil mematahkan penyangkalan yang dia lakukan, dia hanya akan membalas ‘ya ya ya’. Membayangkan dia memutar bola mata jengah sukses menghadirkan senyum kemenangan di bibirku.


Kuteguk air putih yang baru saja kuambil dari atas meja. Percakapan panjang ini usai. Gayatri mengatakan akan segera mengirimkan ceritanya kepada penerbit yang menyelenggarakan lomba tersebut. Kata ‘Ghea’ banyak sekali tampil di roomchat-ku dan Gayatri, kugulir dengan cepat pun tidak kunjung habis. Aku mengakui bahwa aku lumayan susah dihubungi. Pasalnya, sering kali tenggelam dalam imajinasi ketika membaca membuatku lupa waktu. Tidak lantas mengetahui apa yang diinginkan Gayatri membuatku kesal. Aku segera menekan ikon telefon. Selang beberapa detik, tertulis “berdering” di bawah nama kontaknya.

“Hm. Baru telefon setelah dispam,” cibir Gayatri di seberang sana.

“Kenapa?”

“Ceritaku udah kepilih, ikut jilid ke-2,” jelasnya.

“Alhamdulillah...!”

“Anu, alamatnya gimana?” Dia bertanya dengan nada gelisah.

Aku berdehem. “Ya biasanya, RT/RW, Desa, Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten, Provinsi, terus kode posnya.”

“Oke, siap!”


Berbaring menghadap langit-langit kamar, aku menghembuskan napas lelah. Terbayang kembali ketika Gayatri menyurukkan buku hasil lombanya. Sampulnya masih kaku dan halamannya masih mudah tertutup sendiri–jika tidak ditahan. Sempat kubaca beberapa cerita pendek di sana. Mengamati bagaimana penyajian cerita-cerita tersebut. Aku juga berceloteh, mengomentari tindakan tokoh-tokohnya. Meski terlihat banyak omong, aku melakukannya untuk menutupi rasa iri. Aku berhasil menepis perasaan tersebut ketika pelajaran keempat sampai pulang sekolah, tapi perasaan kurang ajar kembali lagi. Kali ini sukses membuat dadaku sesak. Seolah oksigen tidak bersedia menghinggapi paru-paruku. Melihat dia mendahului pencapaianku membuat diri ini sedikit meradang.


Aku paham betul, menganggap Gayatri sebagai penyebab rasa iri itu timbul bukanlah hal yang benar. Tidak sepantasnya aku menaruh kekesalan padanya. Setiap orang memiliki sesuatu yang ingin dicapai, dan aku pun begitu. Kami sama-sama berambisi untuk meraih mimpi, untuk mimpi yang sama pula. Bedanya aku melangkah terseok-seok, sedangkan dia berjalan seperti normalnya.


Akhirnya aku menarik konklusi. Rasa iri seumpama jalan penuh kerikil kecil berserakan. Bukan apa-apa jika dilewati dengan alas kaki. Namun, jika dilewati tanpa alas kaki membuat kaki kebas hingga terpincang-pincang. Sama seperti merasa tidak pantas, rasa iri juga hanya sebuah hambatan dalam proses meraih mimpi. Maka, dengan hati yang masih sedikit gamang lantaran sempat meradang, kuraih ponsel yang tergeletak di tikar. Kumpulkan emosi yang kurasakan. Lantas kuceritakan segala rasa lewat sebuah prosa. Kata menjadi kalimat. Kalimat tersusun menjadi paragraf. Lalu paragraf tersebut menjadi cerita yang dapat dinikmati sekali duduk. Setelah merasa cukup dengan revisi, aku menyimpan cerita tersebut di Google Drive. Menunggu waktu sampai keberanian dalam diriku unjuk eksistensi untuk mempublikasi. Tapi aku tidak tahan untuk tidak memberitahu Gayatri. Secara impulsif aku mengirimkan berkas tersebut di kontaknya. Hitung-hitung sebagai bentuk pembuktianku pada diri sendiri. Sebuah keputusan yang kemudian kusesali. Alih-alih menangis, dia malah tertawa dan menyatakan bahwa cerita itu lucu. Padahal aku menggarapnya dengan perasaan pedih sekaligus perih. Tanpa tedeng aling-aling aku memblok nomornya. ***



KOMENTARI TULISAN INI

  1. TULISAN TERKAIT
...

Sumarno, S.Pd.

Assalamualaikum warohmatullahi wabarokaatuh, Pengunjung webside yang budiman, Sebagai insan beriman, tak henti dan tak lelah kita berucap syukur ke hadirat…

Selengkapnya

JAJAK PENDAPAT

Bagaimana pendapat anda mengenai web sekolah kami ?

LIHAT HASIL