Sebuah Cerpen Karya Ari Wahyuningsih/9E
Senja sudah berlalu, berganti dengan petang. Udara terasa dingin membelai permukaan kulit. Dari jendela terlihat langit menggelap walau seberkas cahaya mentari masih tersisa. Agrinia terduduk di bangku menghadap meja belajar di kamar. Punggungnya terasa pegal, pasalnya sejak duduk di sana ia belum beranjak sama sekali.
Berulang kali menghela napas panjang, lalu mengacak-acak rambut panjangnya yang tergerai, Agrinia menghempaskan pulpen yang semula ia genggam. Pulpen itu mendarat di atas buku tulis matematika yang sudah ia tatap sejak sekian menit. Ia tak kunjung menemukan cara untuk menjawab pertanyaan beranak dari mata pelajaran kematian itu. PR-nya lima nomor tapi setiap nomor beranak seperempat lusin.
Agrinia kehilangan minat belajarnya, rasa malas menghampiri. Setan sibuk berbisik di kanan kiri. Menghasut agar Agrinia menyudahi kegiatan belajar. Ia mengalami pergolakan batin, antara menyerah atau meneruskannya susah payah.
“Kapan gua bisa rajin belajar? Gini aja udah patah semangat,” gumamnya sembari menghela napas kasar.
Pintu kamar berderit, menandakan seseorang akan masuk. Suara tapak kaki terdengar, Agrinia tak perlu membalikkan badan. Karena dari pelannya langkah kaki dan wangi yang semerbak sejak pintu dibuka ia dapat mengetahui siapa yang masuk kamarnya.
“Gimana ujiannya, Ni?” tanya Tantenya.
“Ya begitulah ...,” Agrinia menjawab seadanya.
Tante duduk di pinggiran ranjang Agrinia, meletakkan semangkuk buah yang sudah dipotong-potong di nakas samping ranjang. Melihat-lihat sekitar sebentar. Lalu menata barang-barang yang ia rasa tidak ditempatkan dengan tepat. Pastinya semua itu dilakukan sambil bergumam sinis.
“Kamu ini, masa cuma matematika enggak bisa? Sebodoh-bodohnya Tante waktu sekolah enggak pernah dapat nilai di bawah enam puluh. Lah ini, nilai matematikamu dua puluh!” Agrinia tersenyum kecut ketika tahu-tahu tantenya berdiri di belakangnya sambil mencerca hasil nilai ulangan harian matematika.
“Sudah lihat hasil nilai ujian sepupu-sepupumu, kan? Kamu lihat, apakah ada salah satu dari mereka yang nilainya di bawah KKM? Enggak ada! Kenapa dari sekian mata pelajaran yang diujikan nilai matematikamu paling rendah? Matematika itu ilmu pasti, Rin!” Jujur saja, bertahun-tahun kalimat itu diucapkan, Agrinia masih bertanya-tanya ‘matematika itu ilmu pasti’ artinya apa.
“Jadi pelajar itu jangan malas! Sekarang memang enggak ada yang namanya tinggal kelas. Tapi, dari berjam-jam kamu duduk di bangku sekolah itu pengetahuan apa yang kamu dapatkan?”
Kendati kepala tertunduk dan duduk terdiam, di dalam hati ia sudah mengeluarkan segala kalimat yang ingin ia lisankan. Namun, tidak pernah dapat ia realisasikan. Agrinia melirik sekilas, mendapati tantenya memandang nilai itu dengan pandangan tak habis pikir.
Tepat setelah langkah kaki Tante hanya tinggal terdengar samar-samar, Agrinia berpindah ke ranjang. Kedatangannya sungguh membuat hatinya terasa kebas. Hadirnya membuat Agrinia kesulitan bernapas dengan bebas. Sambil memandang langit-langit kamar ia terisak. Seperti dicengkeram rantai dengan kuat, dadanya sesak bukan main. Ia berakhir menangis dalam diam, hingga perlahan-lahan kesadarannya menipis kemudian jatuh terlelap dengan mata yang sembab.
Walau kepala terasa pening bukan main, mata terasa pedas, suhu badan nyaris panas, kesadarannya mulai mengumpul. Agrinia terduduk linglung. Ia melirik jam di dinding, pukul delapan rupanya. Setidaknya masih ada waktu untuk lanjut mengerjakan tugas matematika.
Dengan malas-malasan, Agrinia memaksa dirinya sendiri untuk duduk di kursi menghadap meja belajar. Demi mengerjakan dua nomor tersisa dari tugas matematika yang akan dikumpulkan besok pagi. Suara kertas disibak terdengar nyaring. Agrinia mencari rumus dan contoh-contoh soal. Naas, ia tidak menemukan apa pun. Ia tadi tertidur di kelas, sama sekali tidak mencatat. Agrinia menghubungi kawan-kawannya lewat aplikasi pesan singkat, notifikasi pemberitahuan yang menyatakan bahwa mereka sudah membalas sangat ia nantikan. Namun, tanda-tanda bahwa mereka online pun tidak ada.
Tidak peduli akan hal tersebut, Agrinia lantas membuka mesin pencarian, lalu segera mencari rumus yang dibutuhkan. Terima kasih kepada siapa pun yang menciptakan dan mengembangkan segala macam teknologi. Setidaknya dengan hal tersebut, ia tak perlu repot-repot mendatangi rumah kawannya. Tentunya demi mengerjakan tugas.
Sontak Agrinia menggelung rambutnya, lalu menyisipkan sebatang pulpen yang sudah macet sebagai antisipasi kalau-kalau gelungannya longgar lalu terlepas. Meregangkan otot-otot tangan dan punggung. Agrinia kemudian memegang pensil. Menghitung angka-angka yang semula merupakan huruf. Kertas putih bergaris itu kini sudah dipenuhi coretan-coretan angka.
Agrinia mengecek ponselnya, ternyata ada pemberitahuan bahwa salah seorang kawannya mengirimkan foto. Agrinia menekan notifikasi tersebut hingga memunculkan foto kertas yang dibubuhi tinta hitam membentuk huruf-huruf berbaris, itu catatan materi pelajaran yang dibutuhkan.
Suara tapak kaki terdengar lagi. Agrinia was-was, takut kalau-kalau tantenya kembali lagi. Ternyata Abangnya yang datang bersama segelas kopi susu di tangannya. Lalu dia mendaratkan bokongnya di pinggir ranjang. Menatap sandaran kursi yang diduduki Agrinia.
Sambil meniup uap dari gelas, sang kakak bertanya, “Kerjain apaan, Dek?”
“Matematika, Bang.”
Yasa, Abang Agrinia, mengangguk paham. Yasa sewaktu kelas sembilan seperti Agrinia bukan murid teladan. Ia tidak mudah menangkap penjelasan guru jika topiknya tentang matematika. Hanya menyangga dagu di atas lipatan tangan dan sesekali menguap adalah kegiatan yang dilakukannya.
Tahu bahwa dia tidak bisa menyelesaikan persoalan ini, Yasa mengangkat gelas kopinya, menyeruput sedikit berharap agar kafein dapat mendatangkan keajaiban sehingga dia bisa membantu Agrinia menyelesaikan tugas. Nihil. Tidak ada yang bisa dilakukannya, pasalnya dia sudah lupa pelajaran matematika kelas sembilan dan berbeda kurikulum juga.
“Btw cita-cita lo apa, Bang?”
“Gue? Apa yak ... fotografer dan pemilik sebuah kafe,” bebernya setelah sekian lama memendam keinginan untuk bercerita perihal cita-cita miliknya.
“Karena lo suka fotografi dan suka kopi?
"Berarti gue boleh dong, menjadikan sesuatu yang gue suka sebagai cita-cita?”
Setelah Agrinia berucap secara refleks, Yasa meneguk kopinya sejenak, kemudian berkata, “Betul, Dek. Passion gue memang di situ. Lo suka apa memangnya?”
“Sastra. Suka sejak SD pas masuk perpustakaan, tapi baru serius sejak semester kemarin disuruh bikin cerpen,” ungkap Agrinia, setelah membalik halaman buku.
“Lo suka novel juga?” Agrinia mengangguk mantap.
Yasa memijat keningnya, menghela nafas panjang. “Lo tahu risikonya kan, Dek? Lo masih kelas sembilan, loh.”
“Tahu. Tenang aja, gua enggak mudah terpengaruh kok, cuma pintar mengkhayal aja.”
Agrinia menyengir kuda, Yasa menoyor keningnya. “Sama aja, Oon!”
“Gua masih muda, masih ingin mencoba-coba. Kata Amanda Rawles; lebih baik menyesal melakukan sesuatu, daripada menyesal karena tidak melakukannya sama sekali.” Agrinia mengangguk-anggukkan kepala, merasa ucapannya barusan sangat spektakuler.
“Bebas sih, asal bertanggung jawab atas apa yang lo perbuat,” Yasa menghela napas pasrah.
“Tante tadi ke sini. Lo enggak di apa-apain, kan?” Yasa memicing curiga. Agrinia diam saja. Maka, tanpa bertanya dua kali, ia tahu jawabannya.
“Enggak usah didengerin. Nilai itu sekadar angka, bukan indikator yang menyatakan seberapa cerdas lo.”
Bahu Agrinia ditepuk-tepuk, support paling tulus dari sang kakak yang tidak bermulut manis. Agrinia tersenyum senang, kata-kata kakaknya memang tidak manis sama sekali, tapi tepukan dibahunya dan tatapan teduhnya ketika berbicara mampu menghangatkan hatinya yang mulanya terasa beku. Agrinia menjabat tangan kakaknya, berterima kasih.***
Copyright © 2019 - 2025 SMP Negeri 1 Nanggulan All rights reserved.
Powered by sekolahku.web.id