SMP Negeri 1 Nanggulan

Jatingarang Lor, Jatisarono, Nanggulan, Kulon Progo, Yogyakarta

Where Tomorrow's Leaders Come Together

Sepeda

Selasa, 26 Maret 2024 ~ Oleh Administrator ~ Dilihat 205 Kali

Sebuah Cerpen Karya Mujiyanti

Guru SMP Negeri 1 Nanggulan

 

Malam kian merayap. Dari atas balai-balai bambu yang sederhana, Restu memperhatikan kesibukan Emak mempersiapkan barang-barang dagangan yang akan dibawa ke pasar besok pagi. Matanya belum juga terpejam meski hampir tengah malam. Disibakkannya selimut yang dia kenakan. Dengan hati-hati didekatinya Emak yang masih saja sibuk membungkus singkong serta ubi yang menjadi dagangan utamanya di pasar.

“Mak, teman-teman Restu hampir semua sudah memiliki sepeda,” ungkap Restu hampir-hampir tidak terdengar.

Emak berhenti membungkus dagangan. Ditatapnya Restu sejenak.

“Tidurlah agar besok kamu tidak terlambat berangkat ke sekolah!  Emak harus ke pasar pagi-pagi benar. Dagangan Emak kali ini cukup banyak,” jawab Emak diiringi seulas senyum penuh makna. Lalu dilanjutkannya membungkus tumpukan singkong dan ubi yang tinggal tersisa tak seberapa.

Restu kembali ke atas balai-balai, tempatnya melepas lelah setiap malam. Disekanya air bening yang tiba-tiba mengalir dari sudut matanya. Ya, besok sore teman-teman Restu akan pergi ke lapangan sepakbola yang ada di kecamatan. Pertandingan sepakbola antardusun akan digelar dalam rangka menyongsong peringatan Hari Ulang Tahun Ke-75 Kemerdekaan Republik Indonesia. Ingin sekali rasanya bisa bersepeda bersama teman-teman menyaksikan pertandingan sepakbola tingkat kecamatan yang berlangsung sekali dalam setahun. Tapi mungkinkah keinginannya akan terwujud?

 

***

“Iya lah, pemain-pemain dari dusun kita memang hebat!” tawa Awang penuh kebanggaan atas kemenangan tim sepakbola kesayangannya.

“Kehebatan pemain kembar kita mirip kehandalan Bagus Kahfi dan Bagas Kaffa seperti yang pernah aku lihat di televisi” Lintang ikut menimpali.

“Ya, mereka terlihat kompak dalam melakukan serangan. Suatu saat, aku juga ingin menjadi pemain sepakbola,” Barkah pun tak kalah bersemangat.

Celoteh anak-anak pun makin riuh. Sesekali mereka juga terlihat tertawa bersama sambil riang mengayuh sepeda mereka menuju tanah lapang, tempat mereka menghabiskan sore bersama-sama.

Dari balik rimbun pohon pisang, Restu menyaksikan tawa lepas teman-temannya. Keinginan untuk memiliki sepeda pun semakin membara. Dia juga ingin merasakan kegembiraan bersama teman-teman. Direngkuhnya onggokan ranting kering yang telah berhasil dikumpulkannya lalu dengan setengah berlari ia bergegas pulang ke rumahnya.

Begitu sampai di halaman rumahnya, didapatinya pemandangan yang sama. Emak tengah menurunkan karung berisi singkong dari gendongannya. Sore ini Emak baru saja memanen singkong dari kebun Pak Rejo, tetangganya yang berbaik hati mempersilakan Emak untuk memanen singkong sedikit demi sedikit untuk dijual ke pasar. Emak boleh mengambil keuntungan dari harga yang telah disepakati bersama Pak Rejo. Dari pekerjaan inilah Emak bisa mengumpulkan rupiah demi menyambung hidup setiap harinya.

Beberapa tahun yang lalu Emak tak perlu terlalu payah begini. Ada Bapak yang punya penghasilan tetap selama menjadi karyawan pabrik di Jakarta. Namun, penyakit demam berdarah telah merenggut kehadiran sosok Bapak yang baik dari keluarga kecilnya. Ketiadaan Bapak mengantarkan Restu dan Emak pulang ke kampung halaman sebab Emak tak punya pekerjaan tetap di Jakarta. Sesekali Emak hanya diminta tetangga kanan kiri untuk membantu memasak jika ada pesanan catering atau pun membantu mengantar baju-baju dari kios laundry yang ada di dekat rumah kontrakan mereka. Walaupun sebetulnya dulu Emak memang seorang pekerja restoran, tetapi setelah memiliki anak, Emak lebih memilih mengasuh anak di rumah. Di samping, memang tak ada biaya jika harus membayar jasa pengasuh anak di rumah.

Setelah Bapak tiada, meski dengan berat hati dan tanpa jaminan pasti akan pekerjaan yang akan dijalani di kampung, Emak dan Restu memutuskan untuk pulang ke kampung halaman Bapak. Dijualnya sekadar barang-barang yang bisa menghasilkan uang demi membeli tiket kereta api untuk perjalanan dari Jakarta ke kampung halaman. Begitu pun, Restu harus mengikhlaskan sepeda kesayangan yang merupakan harta satu-satunya sebagai peninggalan dari Bapak tercinta. Kini tinggallah mereka berdua di sebuah bangunan tua, yang dulu menjadi rumah tinggal kakek dan nenek yang kini semuanya telah tiada.

Terbayang saat-saat bahagia bersama Bapak. Waktu itu Restu baru saja menerima rapor kenaikan ke kelas dua. Usianya genap delapan tahun. Bapak juga baru saja menerima gaji dari pabrik tempatnya bekerja. Bapak datang menjemputnya sesaat setelah ia menyelesaikan kegiatan mengaji rutin setiap Jumat sore. Dengan wajah berbinar, Bapak mengajak Restu ke toko sepeda yang tak jauh dari rumah kontrakan mereka. Betapa bahagia, Bapak memberinya hadiah sepeda kali ini.

Pulang dari toko sepeda, Restu tak lagi berjalan kaki. Bapak mendudukannya di sadel sepeda miliknya. Lalu Bapak menuntun sepeda itu sampai di rumah. Emak juga terlihat bahagia karena Restu telah memiliki sepeda, sama seperti teman-temannya.

***

Diletakkannya seonggok kayu dalam rengkuhannya dengan pelan-pelan, Restu segera menghambur ke belakang rumah. Dengan berpegangan pada bibir sumur timba tua, dia menumpahkan keluh-kesahnya, kesedihannya, dan airmatanya yang selama ini selalu dia simpan sendirian. Ia tak mau menambah beban penderitaan Emak. Ia tak mau melukai hati satu-satunya orang tua yang teramat disayanginya. Ia tak mau menorehkan kepedihan di hati Emak, seperti halnya yang ia rasakan saat kepergiaan Bapak.

“Restu kangen Bapak,” gumamnya lirih sambil terisak-isak.

“Sabar ya, Nak!” elusan di punggungnya seakan membantu melepaskan himpitan kesedihan di hati Restu.

“Emak akan berusaha mengumpulkan uang agar kamu bisa memiliki sepeda lagi seperti dulu,” ucap Emak sambil berusaha menghadirkan senyum manisnya.

Restu tak menyadari bahwa sepasang mata telah memperhatikannya sedari tadi. Sepasang mata dari seorang Emak yang tak kenal lelah dalam bekerja. Emak yang sebetulnya dulu bukanlah seorang petani, tetapi kini harus menguatkan hati menjalani pekerjaan berat dan kasar. Menggali singkong dan ubi di tanah yang kering dan keras karena kemarau telah mengeraskan tanah yang tebal dan liat pada musim penghujan.

 

***

Bulan dan musim telah sekian kali berganti. Emak tersenyum memegang sebuah kaleng bekas roti biskuit di tangannya.

“Restu, bukalah kaleng ini!” ucap Emak sambil menyodorkan kaleng bekas yang sepertinya tidak lagi berisi biskuit di dalamnya. Restu pun menerima kaleng itu dengan penuh tanda tanya.

“Apa isinya, Mak?” diterimanya kaleng itu dengan agak ragu.

“Buka sajalah dan kau akan segera tahu isinya!” lekat Emak menatap satu-satunya buah hati yang selalu mengingatkannya pada seorang lelaki yang teramat dicintainya. Tak terasa bulir airmata pun mengalir di pipinya.

“Uang? Ini uang siapa, Mak?” Restu heran melihat lipat-lipatan uang kertas yang memenuhi hampir setengah bagian kaleng.

“Iya, ini uang yang telah Emak kumpulkan untuk membeli sebuah sepeda seperti keinginanmu,” jawab Emak meyakinkan Restu yang seakan masih belum mempercayai kata-kata Emak.

“Sepertinya uangnya sudah cukup untuk membeli sepeda, Mak!” teriak Restu benar-benar diliputi rasa bahagia.

“Ya, besok pagi-pagi kita ke toko sepeda. Sekarang istirahatlah hari sudah malam!” kata-kata Emak terdengar merdu, mengantarkan Restu memasuki alam mimpinya.

 

***

Sore ini teman-teman akan bersepeda ke tanah lapang. Akan ada lomba layang-layang. Begitulah cara warga mengusir penat setelah mencangkul kebun atau ladang untuk persiapan musim tanam jika hujan telah turun.

Restu pun ada di antara kelompok pesepeda yang akan berpacu menguji kecepatan mereka dalam mengayuh sepeda menuju tanah lapang. Matahari yang telah condong ke barat disertai sepoi angin sore semakin menyejukkan hati yang telah penuh dengan kebanggaan karena bisa duduk di atas sadel sepeda bersama teman-temannya.

Aba-aba telah diteriakkan dan sepeda-sepeda sederhana itu telah meluncur bagaikan anak panah yang telah dilepaskan menuju tempat tujuan. Tak ada lelah. Sandungan batu-batu kecil di sepanjang perjalanan mereka pun tak dihiraukan. Hari ini Restu teramat bahagia.

 

***

“Jadi begini, Bulik. Kedatanganku kemari karena ada sesuatu yang akan kusampaikan,” suara Pakdhe Jarwo tak asing di telinga Restu yang secara tak sengaja mendengar percakapan Emak dan Pakdhe Jarwo dari depan pintu.

“Ada apa ya, Pakdhe. Sepertinya sesuatu yang sangat penting?” Emak penasaran dengan berita yang dibawa Pakdhe Jarwo.

“Ehm,” Pakdhe Jarwo sekilas menelan rasa sungkan untuk mengutarakan maksud kedatangannya. Betapa tidak, beliau tak pernah berkunjung ke rumah adik ipar dan keponakannya ini selama mereka tinggal kembali di kampung halaman.

“Katakan saja, Pakdhe. Mungkin ada yang bisa kami bantu,” Emak mencoba mencairkan suasana.

“Aku membutuhkan tambahan uang saku untuk bekal Anggraeni yang diterima bekerja di Kalimantan,” ucap Pakdhe Jarwo sedikit terbata.

“Uang tabungan kami baru cukup untuk membeli tiket pesawat dan beberapa barang yang dia perlukan di sana,” sambung Pakdhe seolah ingin menandaskan bahwa beliau juga sudah berupaya secara maksimal.

Emak tak segera menjawab permintaan Pakdhe Jarwo, terbayang perjuangan panjangnya demi bisa membeli sebuah sepeda untuk Restu, anak semata wayangnya. Kini setelah impian hampir tergapai, datang sebuah warta yang tak pernah disangka-sangka. Emak yang sangat menghargai persaudaraan, rasanya tak dapat mengambil keputusan di antara dua hal sulit yang ia hadapi.

Sementara di depan pintu, Restu tergugu. Mimpi bersepeda bersama teman-teman semalam akankah menjadi kenyataan?***

 

Selesai

KOMENTARI TULISAN INI

  1. TULISAN TERKAIT
...

Sumarno, S.Pd.

Assalamualaikum warohmatullahi wabarokaatuh, Pengunjung webside yang budiman, Sebagai insan beriman, tak henti dan tak lelah kita berucap syukur ke hadirat…

Selengkapnya

JAJAK PENDAPAT

Bagaimana pendapat anda mengenai web sekolah kami ?

LIHAT HASIL